indonesia raya: epilog


hari ini sebenarnya saya berharap ada kelanjutan soal heboh indonesia raya ini di detik, namun ternyata sampai saat ini cuma ada satu catatan dari airputih. tampaknya pihak-pihak yang terlibat sedang cooling down, terutama yang kemarin nyaris melakukan self-inflicted character assasination alias pembunuhan karakter terhadap diri sendiri.
3011 VIEWS
hal pertama yang ingin saya ungkapkan, sekaligus menjawab pertanyaan erander, adalah betapa kehebohan ini membuat page visit ke blog saya melonjak sangat tajam:
3011
VANDALISME DI ENTRI INDONESIA RAYA
sejak saya menyarankan untuk melihat entri indonesia raya di wikipedia indonesia, saya sudah mengkhawatirkan akan terjadi vandalisme terhadap entri tersebut, membuat seolah-olah pihak yang tadinya salah menjadi benar. dan ternyata kekhawatiran saya menjadi kenyataan, ada yang menghapus dua stanza terakhir dari lagu indonesia raya. tindakan vandalisme dengan mengacak-acak lagu kebangsaan ini benar-benar sangat tidak patriotis, dan sangat berlawanan dengan pernyataan “ingin ikut memperkaya sejarah indonesia.” ingin memperkaya atau ingin memelintir? saya pribadi menganggap yang melakukan hal ini bisa dkategorikan sebagai pengkhianat negara.
APA YANG SEBENARNYA TERJADI?
di sini saya akan berusaha menuliskan apa sebenarnya yang terjadi berdasarkan pengamatan saya. semua ini tampaknya diawali dari tindakan roy suryo menyalin hasil pengumpulan salinan-salinan digital yang berhubungan dengan sejarah indonesia dari arsip tim airputih melalui sobat kentalnya, heru nugroho, yang sampai kemarin masih disangka oleh roy suryo sebagai ketua tim airputih.
dari salinan yang didapat, dia menemukan rekaman film propaganda jepang yang isinya antara lain dinyanyikannya lagu indonesia raya versi 3 stanza dan dengan tempo con bravura, berani/bersemangat, berbeda dengan lagu kebangsaan yang sesuai dengan PP no 44/1958 dengan tempo maestoso con bravura.
berdasarkan wawancara dengan ndoro kakung, ternyata roy suryo memang tidak tahu kalau sebenarnya lagu indonesia raya itu benar-benar terdiri dari 3 stanza:

Dia mengaku baru waktu itu tahu bahwa versi asli Indonesia Raya terdiri dari 3 stanza, dan bukan cuma satu seperti yang selama ini dinyanyikan dalam pelbagai kesempatan resmi.

karena memang roy suryo tidak tahu mengenai hal ini, beliau menganggap ini merupakan sebuah penemuan besar (tentunya bagi beliau sendiri), dan lalu bersepakat dengan pihak airputih bahwa mereka akan mengumumkan hal ini di hari senin tanggal 6 agustus 2007.
tapi rupanya roy suryo melanggar kesepakatan tersebut, dan mendahului membuat sendiri ad hoc konferensi pers di jogja, mengumumkan penemuannya tersebut. dalam konferensi pers tersebut beliau tampaknya “menuntun” para wartawan sehingga terjadi kesimpulan bahwa beliau menemukan pita seluloid asli dari rekaman tersebut di leiden (entah museum, perpustakaan atau universitas) belanda. tampaknya kata “pita seluloid” ini berasal dari hasil pengamatan rekaman video tersebut yang memang terlihat vintage, ditambah adanya tulisan menuju kemerdekaan di bulan 9 tahun 2064 (tahun jepang, yang berarti tahun julian 1944), namun saya masih belum berhasil menemukan dari mana kata “leiden” berasal.
setelah konferensi pers di atas, dimulailah segala kontroversi. hal pertama yang dipertanyakan adalah mengapa roy suryo baru tahu kalau ternyata lagu indonesia raya itu memang terdiri dari tiga stanza. hal kedua yang menguatkan kesan bahwa versi 3 stanza ini merupakan “penemuan baru” adalah pada saat upacara atau acara kenegaraan, lagu kebangsaan yang dinyanyikan memang cuma satu stanza. ini bisa dijelaskan bahwa memang menyanyikan cuma satu stanza sudah sesuai dengan PP no 44/1958 bab I pasal 2 ayat 2, dan di dalam peraturan pemerintah itu pun versi 3 stanza juga dikenali. masalahnya adalah PP no 44/1958 ini memang jarang diketahui oleh orang banyak.
hal ketiga yang makin menimbulkan pertanyaan adalah orang-orang pemerintahan sendiri (dan juga beberapa wakil rakyat) ternyata sama awamnya, tidak tahu bahwa memang seharusnya lagu indonesia raya itu terdiri dari tiga stanza. ini makin memperburuk keadaan karena masyarakat awam tidak tahu mana yang bisa dipercaya, pihak yang tidak tahu soal 3 stanza (dan diperkuat oleh beberapa orang pemerintahan dan wakil rakyat) atau pihak yang tahu tentang 3 stanza.
ketika orang-orang yang mengetahui bahwa lagu indonesia raya memang terdiri dari 3 stanza mulai menyuarakan pendapatnya, roy suryo berusaha meredam hal ini dengan menyatakan bahwa mereka adalah pahlawan kesiangan. lalu kemudian ketika tokoh pengamat sejarah des alwi angkat bicara, lagi-lagi roy suryo berusaha meredamnya dengan menyatakan bahwa des alwi menyembunyikan dokumen negara dan punya kepentingan ekonomi. dan akhirnya ketika pihak airputih angkat bicara, roy suryo menganggap yang angkat bicara dari airputih adalah tingkatnya sederajat tukang kebun, dan tidak layak dikutip.
kontroversi ini ditutup dengan dua pernyataan dari pihak airputih, bahwa ternyata pengumuman soal penemuan itu seharusnya dilakukan secara bersama antara roy suryo dan airputih, dan catatan tentang kepingan sejarah indonesia dalam bentuk digital, yang sayangnya oleh pihak tertentu hanya dipergunakan sebagai alat untuk mencari popularitas.
LALU, APA USAHA SAYA?
saya sudah menduga kalau akan ada yang berpendapat percuma menulis di blog untuk menyuarakan kebenaran terhadap aksi roy suryo yang menggunakan media masa konvensional yang pengaruhnya masih lebih luas di indonesia ini. seperti eep yang mengibaratkan menulis di blog seperti menggali dengan sendok teh, atau seperti berteriak dari balik bantal, atau seperti riyogarta yang mempertanyakan mengapa tidak ada pakar IT yang melakukan bantahan di media masa juga.
ijinkan saya menjawab. lahan aktualisasi diri roy suryo memang di media masa. beliau rajin mengirimkan sms ke para wartawan, mengumumkan ad hoc konferensi pers atau sepak terjang beliau. tujuan beliau memang mencari popularitas, dan melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai kepopuleran. ketika beliau pernah bersinggungan dengan saya, dan menyebarkan surat terbuka berisi ancaman ke berbagai milis, saya pun melakukan bantahan ke milis-milis tersebut, dan salah satunya adalah technomedia: komunitas wartawan IT indonesia, yang dimoderatori oleh merry magdalena. dalam deskripsinya, tercantum:

Untuk pengamat TI, harap menyebutkan nama lengkap, tempat (lokasi) dan aktivitas yang sekarang, pekerjaan sekarang (kalau ada), dan lain-lain yang sekiranya menunjukkan anda bisa menjadi narasumber berita.

milis tersebut bersifat tertutup, dan karena roy suryo mengirimkan juga surat terbukanya ke milis itu, agar bisa menyampaikan bantahan saya mencoba bergabung ke milis tersebut. namun permintaan bergabung dari saya ditolak dengan enteng oleh merry, dengan alasan “kami saat ini sudah tidak butuh lagi tambahan narasumber IT“.
berhubung saya memang tidak gila popularitas, saya juga tidak berusaha memaksa masuk ke milis tersebut. toh wartawannya sendiri sudah merasa cukup dengan narasumber yang ada, dan tidak butuh tambahan narasumber lagi. ditambah selalu diumpani dengan SMS dari roy suryo, yang tentu saja makin meringankan pekerjaan mereka mencari berita tentang teknologi.
lagipula, seperti roy suryo yang merasa mapan di tengah wartawan, saya juga merasa sangat mapan dengan menulis blog. saya bisa menyuarakan pendapat saya sendiri tanpa pengaruh orang lain, tanpa tenggat waktu, tanpa paksaan. saya maklum kalau tulisan saya dianggap seperti menggali dengan sendok teh, berteriak dari balik bantal, atau tidak sebesar pengaruh berita/tulisan di media masa, namun saya tetap menganggap tulisan saya di blog bagaikan air menetes ke sebongkah batu, lambat laun akan membuat lubang di batu tersebut. terbukti dari saat pertama saya bersinggungan dengan roy suryo, masih sedikit yang tahu siapa sebenarnya roy suryo itu, sehingga banyak yang berlawanan pendapat dengan saya, namun coba lihat saat ini, sudah sangat jauh lebih banyak yang akhirnya mengerti siapa itu roy suryo. cek saja dari jumlah komentar mencapai 3000-an dan page visit yang juga mencapai 3000-an untuk sebuah blog non-media-masa-dan-independen dan baru berisi 182 artikel.
bukan berarti saya tidak pernah masuk menjadi berita/artikel media masa. saya pernah dijadikan narasumber untuk hobi saya mengumpulkan merchandise startrek dan star wars, dan juga masuk berita ketika memenangi kompetisi airsoft. tapi memang belum ada yang berkategori IT.
tulisan eep dan riyogarta memang ada benarnya. bagi narasumber IT kompeten yang lain, silakan melakukan pelurusan dan bantahan ke media masa, jika memang punya akses ke sana. memorable quote:

Dedhi Says:
August 6th, 2007 at 11:21 pm
Jelas banget si Roy Suryo ini yang tidak quotoable. Ad hominem banget, pakai pejorative tukang kebun segala. Lebih baik tukang kebun beneran yg bisa potong rumput dengan baik, daripada sesumbar macem macem yg tidak berdasar dan cuman pakai riset padahal mengklaim dirinya dosen. Nama Ketua Air Putih aja kagak tahu padahal katanya kerja bareng dengan mereka, lagu 3 stanza buat orang seumuran gue ama Roy udah dari SD aja pada tahu dia malah kagak, soal kualitas online video feed dari site macam youtube aja dianggap sebagai indikator keaslian, ambil sample darimana aja kagak tahu tapi cuman asal denger lalu sok klaim dari server Belanda, padahal cuman 2nd hand copy doang, doh…………. bener bener mencengangkan untuk kualitas seorang dosen.
Udah gitu komentar komentarnya yang self-appraising, dan kegemarannya bikin ad hoc pers conference dengan kirim kirim SMS ke wartawan…walah, kagak narsis Roy?

TAUTAN

,

64 responses to “indonesia raya: epilog”

  1. Dari pihak wartawan gimana nih suaranya? Dari yang gw liat mereka juga ikut andil dalam hal yang menyesatkan ini. Apakah dalam mencari berita, wartawan tersebut tidak memverifikasi dulu kompetensi sumber beritanya.
    3 stanza lagu Indonesia Raya itu dari zaman duluuu bangeeeet gitu loh.

  2. wartawan mah kalo ada berita yang menjual ya dikejar, keliatannya bombastis, walopun ada fakta yang benar, tapi gak bombastis gak dikejar.

  3. Blog jelas lebih berharga dari media tertentu. Pertama, dia lebih bebas kepentingan ekonomi. Kedua, tukang kebun pun boleh menulis blog. Ketiga, dan terutama, blog berisi orang yang walaupun tak terlalu cerdas tetapi bisa melihat kegoblogan pakar bohongan (siapapun itu); sementara media massa tak kapok-kapoknya mem-blow up berita yang mereka tahu bersumber dari tokoh tak layak dipercaya (siapapun itu).

  4. yang bikin heran, kok pihak wartawan (merry?) menolak nara sumber?
    bukannya logikanya makin banyak nara sumber makin baik?
    media macam apa itu?

  5. Kalau hari valentine kemarin di dedikasikan oleh para Blogger untuk ROY SURYO, mari kita dedikasikan hari kemerdekaan kita tahun ini untuk BELIAU lagi…

  6. hmmm, rasanya gak ada yang ngelarang media massa untuk mengutip opini yang berasal dari blog, bahkan disalin mentah2, asalkan dilakukan dengan benar, minta izin dulu, etc. gua sih kalo nulis di blog dan dikutip media syukur, gak dikutip juga gak masalah. tapi lebih baik nulis di blog dan gak dikutip media massa daripada gak nulis sama sekali.
    terus, kalo boleh bilang, detik adalah media yang paling lengkap ulasannya. tapi gak ada yang protes “detik kok gak bikin edisi cetak atau acara tv”
    kalo masalahnya soal jangkauan media, memang blog kalah jauh dibanding media massa tradisional. tapi wartawan kan harusnya punya akses ke blog2 ini. kalau wartawannya memang aktif cari berita dan bukan ‘wartawan press release’ harusnya si wartawan gak kesulitan untuk menangkap opini2 ini.

  7. Dalam hal ini, (artinya) Sang Pakar lebih pandai menyebarkan berita meskipun content-nya adalah pembodohan masyarakat. Sementara Anda (maaf) kalah pandai dalam hal menyebarkan kebenaran ke masyarakat luas.
    Saya tidak mengatakan bahwa menulis di blog adalah percuma, saya juga tidak mengecilkan arti sebuah blog. Namun, kali ini yang dibicarakan adalah Mr. You Know Who, seseorang yang sudah terlanjur menjadi sakti mandraguna akibat kemalasan para pakar/pengamat IT atau mereka yang berkompeten untuk melakukan counter terhadap setiap sepak terjangnya. Akibatnya, Sang Pakar tetap dinilai Pakar bagi mereka yang tidak pernah membaca blog (seperti blog Anda atau blog lainnya), dan sialnya jumlah mereka jauh lebih banyak 🙁
    Kenapa takut dikatakan gila popularitas kalau tujuannya untuk kebaikkan?

  8. Kenapa takut dikatakan gila popularitas kalau tujuannya untuk kebaikkan?

    ah, ini sangat mudah menjawabnya:

    …permintaan bergabung dari saya ditolak dengan enteng oleh merry, dengan alasan “kami saat ini sudah tidak butuh lagi tambahan narasumber IT“.

    kalau memang tidak tahu, merry itu punya profesi sebagai wartawan. ada yang masih belum jelas?

  9. Hehehe, sudah saya duga, yang Anda jawab pasti alinea ke-3 🙂
    Oke thanks.

    sepertinya tulisan saya sudah mewakili jawaban saya untuk alinea komentar anda yang lainnya, toh komentar anda tidak ada bedanya dengan tulisan di blog anda, dan apa yang saya tulis sebenarnya menjawab tulisan di blog anda.
    soal pandai dan kalah pandai, anda memang benar kok. saya hanya punya sedikit pengalaman dengan wartawan, dan malah pernah ditolak menjadi narasumber oleh wartawan. saya tidak pernah mengirimkan SMS basa-basi mengenai kegiatan hidup saya ke wartawan. saya tidak punya banyak kenalan yang bekerja di media masa. jadi adalah amat sangat bodoh kalau nekat berusaha mengalahkan seseorang di bidang yang sangat dikuasai oleh orang itu dan tidak dikuasai oleh diri sendiri. begitu juga sebaliknya, orang yang sama tidak akan berani bermain di arena blogging, bukan karena dia kurang pandai, tapi cukup pintar untuk menghindari arena yang dia pasti kalah.

  10. Jadi kalah sebelum bertanding dong … sayang, padahal saya kagum dengan tulisan-tulisan Anda yang sangat argumentatif, berani dan saya nilai obyektif meskipun saya tahu Anda sebel sama Sang Pakar (saya dan banyak orang juga sebel hehe).
    Tapi ya sudah, tidak apa-apa, mungkin nanti akan ada orang lain yang muncul meskipun mulanya Anda adalah salah satu yang saya dan mungkin banyak orang harapkan.
    Senang berdiskusi dengan Anda dan terimakasih.

  11. Maaf, agak OOT. Kebetulan waktu itu abis ngobrol sama temen soal ini. Kalau baca bukunya Rosihan Anwar, waktu sekutu masuk Indonesia lagi (1945), BK dianggap “penjahat perang” karena memobilisasi rakyat untuk membantu Jepang dan romusha.
    Salah satu “bukti”nya adalah video propaganda yg kita lihat di youtube itu. Apakah ada hubungan antara “penemuan” film propaganda ini dg 2009? Dg hubungan: citra negatif BK-> afiliasi partainya -> 2009.
    A black campaign? Maybe, tp sudah dibilang diatas ini OOT 😀
    Sorry ya Mas Ryo… saya sendiri non partisan, tidak bermaksud kampanye atau semacam itu, cuma sharing obrolan aja… abis rame sih..
    Kalo si roy kayaknya kebelet pengen populer lagi dan kalau dugaan diatas bener ya sekalian carmuk, sudah lama ga ada kasus artis porno lagi sih…

  12. Sshhh, be nice to your wedding photographer! 🙂
    (atau wedding photo director atau apalah)
    kata simbah dulu, yang baik akan keliatan, yang buruk juga akan keliatan sendiri.

  13. Good job bro .. dan congratulation atas views yang menembus angka 3.000 .. jangan kawatir. Memang beginilah hidup didunia ini. Penuh romantika.
    Jadi ingat kata2 Abraham Lincoln yang saya kutip dari RDI Agustus 2007:

    Anda bisa membodohi semua orang selama beberapa saat dan beberapa orang selamanya. Tetapi Anda tidak bisa membodohi semua orang selamanya.

    So .. kira2 kata2 tersebut cocoknya ditujukan buat siapa ya?

  14. setuju, selama kita bisa ngeblog, lawan aja pake blog! tapi jangan pernah berharap bisa ‘keadaan umum’ kalo kita nggak masuk ke sistem yang berlaku umum. kalo ‘sang pakar’ bisa masuk ke sistem, kenapa pakar beneran susah masuk……apa kita nggak sebaiknya berkaca dulu ya!!!!!
    Indonesia Raya….kalo tudingan bahwa lagu itu hasil plagiat gimana donk!!! apa perlu diganti dgn kebyar-gebyar-nya alm Gombloh………he69x!

  15. selebrasi – sensasi – tanpa esensi………….?
    hiduplah, indoneeeeeeesiaaa rayaaaaaaa…….!
    [saya rasa ada yang lebih penting, seperti pemiskinan, pembodohan terhadap rakyat indonesia – apakah ini akibat itu semua?]

  16. hi ryo… eh salah.. hi roy… ah nama kok cuma beda letak 1 huruf aja.. hehehehe….
    yuk rame rame cukur kumis roy…
    cookoorr komesssnyaaahh… cooookoooorr kooomeessnyaahhh……
    * blog gw ko g nyangkut.. hiks hiks.. *

  17. Saya pikir tulisan2 melalui blog dan milis sudah cukup untuk mengklarifikasi siapakah Roy Suryo itu. Lagi pula masyarakat awam yang hanya mengetahui Roy Suryo dari sepak terjangnya di media2 mainstream juga bisa menilai sendiri apa yg dicari/dikejar Roy Suryo sebenarnya.
    Untuk apa membunuh seekor lalat pakai meriam?

  18. Memprihatinkan!!!! kalau emang faktanya roy suryo mengaku menemukan klip asli indonesia raya.”kok ya ga malu?”…aku aja yang denger berita ini malu setengah mati “kok ada orang kayak gitu?”. tapi yang membuat aku lebih miris lagi selain polemik “indonesia raya” ini, tadi aku denger murid-muridku latihan paskibra di sekolah. pas bagian mengibarkan bendera, semua anggota paskibra diminta menyanyi untuk mengiringi lagu indonesia raya (karena grup paduan suaranya latihan di tempat lain). ternyata mereka nyanyinya sembarangan…seperti nyanyi “jablay” di kamar mandi. aku bukan tipe orang yang mendewa-dewakan negara di atas tuhan. tapi hati rasanya miris melihat generasi muda yang bahkan tidak sanggup menghargai lagu kebangsaan sendiri dengan penuh kekhidmatan dan merasainya dengan penuh renungan. ga tau berhubungan atau tidak, tapi kejadian roy suryo dengan muridku tadi sama-sama membuat aku malu.

  19. salam…
    makin ke sini makin hangat ya…gw juga smakin ngeh dengan blog ini (trima kasih atas opini2nya yang liar!:)
    Undang-undang KUHP kita punya pasal pencemaran nama baik sih ya…
    coba aja kalo ga ada….hemmmmmmm…gemess!
    masa kecil bapak P-A-K-A-R itu gimana ya?
    pasti dimanja ama keluarga nya dan sebagian besar mungkin temen2 masa kecilnya cewek..secara latar belakangnya ningrat yang dihormati, jadi mungkin juga setiap hal yang salah selalu dibenarkan oleh keluarganya, trus ga perlu kerja keras untuk mendapatkan sesuatu, ga perlu belajar karna sudah kaya jadi semuanya bisa dibayar dan akhirnya kebawa la sifat2 sampe masa tua nya.
    (ada yang punya background psikologi untuk mengalanisis?:)
    regards,
    asfi

  20. haha.. gw pikir yang punya kontrol sosial tuh cuma wartawan (via medianya). ternyata blogger juga. lebih top. meski jangkauan terbatas.
    kalo Bang Iwan bilang di lagunya…
    pada: ” N G A W O E R … ”
    mas, saya boleh yah terus keluyuran di sini.. ?

  21. kalo wartawan sih ya apapun beritanya pasti dimuat apalagi klo beritanya bisa bikin sensasi.
    Itu si mas Roy mungkin bikin beginian cuman buat ngebuktiin kalo kapasitasnya adalah sebagai pakar telematika.
    Jadi ya biar tambah famous gitu…
    Hehehehehe…

  22. itu mgkn kata Leiden dipakai untuk main aman aja. Karena di Leiden ada sebuah organisasi yg fokus pada keberagaman di Indonesia. Bahkan kalo mau nyari koran Pos Kota terbaru, juga ada disana (ya telat 2-3minggu).
    nama organisasinya adalah KITLV (http://www.kitlv.nl/). Ini juga lembaga yg pernah jadi tempat “studi banding” DPRD Jatim ketika pesiar ke Belanda, dengan alasan mencari tanggal pasti hari jadi provinsi Jawa Timur. CMIIW.
    Dan di Univ Leiden, ada studi bahasa Jawa. 😀
    Maap kalo nggak nyambung, tp mgkn ini agak menjawab kenapa Leiden yg dipake, instead of Amsterdam 😛 CMIIW

  23. Seharusnya media massa harus lebih cepat dan tepat.
    Ini ada tulisan dari wartawan senior di LKBN Antara
    Di Internet,
    Media Massa Nasional (Harusnya) Kian Cepat,
    Akurat, Lengkap dan Mendunia
    Oleh Priyambodo RH
    (Wartawan LKBN ANTARA, dan Pengajar Cyberjournalism
    di Lembaga Pers Dr. Soetomo/LPDS)
    “Wartawan di tengah kemajuan teknologi informasi agaknya tidak lagi menghadapi masalah bagaimana mengirimkan berita secepat, seakurat dan selengkapnya. Masalah terbesar mereka adalah bagaimana mempertajam kreativitasnya dengan memanfaatkan hasil teknologi itu sendiri.”
    Pengantar
    Dalam sejumlah pameran teknologi terkini di negeri ini, sejumlah pramuniaga seringkali menawarkan produk-produk canggih, dan salah satunya adalah lemari pendingin (kulkas) yang di pintunya terpasang layar sentuh (touch screen) terhubung ke jejaring komputer sejagat alias Internet.
    Bagi sejumlah orang, terutama yang maniak berselancar di dunia maya, keberadaan kulkas ber-Internet itu bakal menarik perhatiannya. Namun, bagi sebagian orang lainnya tentu saja bakal ada yang bertanya-tanya: “Apa enaknya ber-Internet di pintu kulkas?”
    Namun, semakin banyak orang saat ini lebih menikmati fungsi komputer pribadi (personal computer/PC) yang terhubung ke Internet bukan sekadar mesin ketik canggih lagi, karena PC kian hari fungsinya semakin menyatu mulai menjadi bioskop, televisi, radio, wahana bermain sampai dengan buku harian pribadi sekaligus mesin pencari (search engine) informasi tercepat, terakurat dan terlengkap secara pribadi pula.
    Padahal, tak sedikit orang yang tentunya bakal merasakan kenyamanan kulkas ber-Internet manakala fungsi kecanggihannya bisa langsung mendeteksi apa saja isi kulkas –misalnya, es krim, susu, telur, buah-buah dan sayur mayur– yang sudah habis, serta langsung terhubung ke toko serba ada untuk memesan, membayar secara online sampai mengantarkan kebutuhan apa saja, sehingga lemari pendingin tetap penuh sesuai daftar rutin keinginan pemiliknya.
    Dengan kata lain, kebanyakan orang masih lebih mementingkan unsur fungsi dari satu benda untuk memenuhi kebutuhannya –apalagi, syukur-syukur harganya murah– dan mereka cenderung menuntut hasil temuan teknologi mempermudah urusannya.
    Berangkat dari kecenderungan semacam itulah, maka fungsi media massa yang memanfaatkan terknologi Internet (cybermedia) tak akan pernah terabaikan selama mereka senantiasa mampu menyajikan informasi yang cepat, akurat, lengkap sesuai keinginan publiknya, dan syukur-syukur gratis!
    Multimedia Massa
    “Sekarang ini, Internet berada kira-kira pada tingkat perkembangan telepon di tahun 1890-an. Sambungan ke Internet belum untuk semua orang. Menjalankan Internet tidaklah mudah. Dan, dewasa ini hanya sejumlah wartawan tertentu saja yang memanfaatkannya,” catat Randy Reddick dan Elliot King dalam buku mereka yang berjudul Online-Journalist, using Internet and Other Electronic Resources.
    Dalam buku terbitan Harcourt Brace & Company pada 1995 tersebut, mereka juga menorehkan pendapatnya: “Walaupun demikian, dalam bentuknya yang sekarang pun, Internet sangat berguna karena wartawan dapat melaksanakan tugas utamanya mengumpulkan dan menyampaikan informasi pada khalayak secara lebih mendalam dan efisien.”
    Pendapat kedua penulis itu pun dalam kurun waktu satu dasawarsa -saat ini- sudah harus banyak dikoreksi, terutama menyangkut perkembangan jumlah sambungan ke Internet untuk semua orang, dan tentu saja bagaimana para wartawan memanfaatkannya. Hal itu semua tentunya tak bisa dilepaskan dari kerja keras para pihak, seperti kalangan penyempurna teknologi, pebisnis yang banyak mencium peluang, dan juga khalayak –terutama pekerja media massa/wartawan– yang tidak pernah puas memanfaatkan fungsi dari hasil teknologi informasi.
    Dalam perjalanannya selama ini, jurnalisme ber-Internet atau yang akrab disebut “cyberjournalism” ataupun “online journalism” sudah melampaui gelombang ketiga dan memasuki gelombang keempat. Hal ini lebih banyak dilihat dari kenyataan yang terjadi di negara-negara Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS).
    Gelombang Pertama jurnalisme ber-Internet mulai nampak pada tahun 1982 – 1992 atau tahap sepuluh tahun awal perjuangan. Periode tersebut menjadi penentu gejala Internet sebagai jejaring komputer global yang memungkinkan semua orang memiliki “mainan baru” dalam dunia informasi. Saat itulah banyak pakar menyebut sebagai babak: “Selamat Datang Teknologi Informasi Multimedia”.
    Pembabakan jurnalisme ber-Internet pada kenyataannya tak lepas dari kehadiran perusahaan penyedia jasa jejaring Internet (Internet Service Provider/ISP) yang di AS dipelopori oleh “American On Line” (AOL) dan “Prodigy”. Hanya saja, media massa memanfaatkan Internet baru sebatas sebagai pelengkap administrasi untuk saling berkirim kabar per surat elektronik (e-mail) dan kecepatan akses maksimalnya sekirar 9,6 Kilo Bytes per second (KBps).
    Gelombang Kedua jurnalisme ber-Internet berlangsung pada tahun 1992 – 2001 yang ditandai dengan semakin komplitnya ISP di AS dan UE memberikan fasilitas kecepatan akses data multimedia dibarengi dengan kemampuan prosesor PC melakukan sejumlah pekerjaan secara bersamaan (multi tasking), serta keandalan pusat jejaring komputer (server) mengatur alur komunikasi. Saat itu kecepatan akses data multimedia menggunakan modem sudah mengalami kemajuan dari 14,4 KBps menjadi 36,6 KBps dan terus melaju hingga 56,6 KBps.
    Memasuki tahap sepuluh tahun kedua perkembangan jurnalisme ber-Internet diikuti dengan kecenderungan harga PC dan fasilitas yang disediakan ISP semakin beragam menjadi murah harganya. Tiba-tiba saja, setiap masyarakat dunia mengenal serangkaian istilah yang dimulai dengan huruf “e” dengan makna “electronic”. Ada istilah “e-commerce” (perdagangan ber-Internet), “e-trust” (pasar modal ber-Internet), dan media massa ramai-ramai menyajikan “e-news” alias berita melalui Internet, bahkan “e-government” yang berupaya mengalihkan sistem administrasi rutin kepemerintahan juga dilayani melalui Internet.
    Surat kabar dan majalah, siaran radio dan televisi, serta tayangan film maupun berbagai pusat data dapat dengan mudah diakses melalui Internet. Pada masa ini pula “e-commerce” dibidang multimedia massa melalui “portal” (situs informasi) mengalami masa pasang, sekalipun pada akhirnya banyak pula yang berguguran.
    Jatuh bangunnya “e-commerce” melalui produk dagang yang biasa disebut dotcom dapat terjadi lantaran pengelola bisnis sering kali lupa bahwa hubungan kemanusiaan dalam dunia dagang jauh lebih penting dibanding hanya menempatkan calon pembeli dan pelanggan setia layaknya angka statistik semata. Selain itu, para pengelola situs Internet seringkali terlalu bersemangat membuka “portal” –istilah ini muncul dari kata porta yang dalam bahasa latin yang semakna dengan pintu– yang dapat terbuka lebar dan penuh tawaran informasi, serta memiliki tatanan sangat menarik.
    Hanya sayangnya, pengelola portal sering lupa memperbarui (up dating) informasi yang mereka sajikan, dan malas memberikan tanggapan terhadap e-mail yang masuk. Selain itu, mereka keliru menerjemahkan bahwa portal hanyalah sekadar pintu, padahal makna “e-commerce” menempatkan calon pembeli dan pelanggan setia merasa dihargai manakala e-mail-nya mendapat tanggapan positif.
    Apalagi, banyak pengelola dotcom dalam periode 1998-2003 terbuai dengan betapa cepatnya memperoleh uang dari hasil menjual informasi dan mengelola iklan melalui laman (situs Internet). Bahkan, mereka tergiur untuk mendaftarkan bisnis dotcom-nya ke pasar modal untuk meraup keuntungan lebih besar dari investasi publik. Akhirnya, banyak di antara mereka berguguran alias mengalami kebangkutan.
    Mereka agaknya tergoda untuk memenuhi “keinginan” berekspansi bisnis dan lupa memilah “kebutuhan” mendasar untuk mendukung eksistensi bisnisnya. Oleh karena itu, pebisnis dotcom yang mampu bertahan biasanya bukan semata-mata didasari kemampuannya berekspansi merebut pasar dan meraup untung secara cepat, tetapi mereka mampu berbenah memperkuat sistem, antara lain mengembangkan fungsi divisi produk sekaligus layanan teknologinya. Dotcom yang mampu bertahan hidup dan kemudian meraih peluang lebih besar biasanya memiliki bidang usaha jasa layanan dan pengembangan teknologi informasi.
    Gelombang Ketiga jurnalisme ber-Internet mulai bereaksi semakin cepat pada tahun 2002 yang ditandai dengan maraknya teknologi bersimbolkan huruf “m” yang bermakna “mobile Internet”. Sistem akses Internet menjadi nirkabel dan aplikasi komputer dapat menyatu di telepon selular genggam (ponsel alias HandPhone/HP). Teknologi aplikasi nirkabel (Wireless Application Protocol/WAP) dan paket layanan radio (General Packet Radio Service/GPRS) sangat memungkinkan pengguna ponsel dapat pula mengakses Internet untuk mengirim dan menerima e-mail, pesan berfoto, bersuara dan gambar bergerak. Selain itu, peselancar di dunia maya dapat mengakses data dengan kecepatan mencapai 4 Mega Bytes per second (MBps) dengan memanfaatkan jaringan televisi kabel.
    Belajar dari keruntuhan bisnis dotcom, maka industri media massa mengisi gelombang ketiga mengarah ke perdagangan bergerak secara nirkabel atau “m-business” (mobile business). Media massa saling berlomba menyajikan informasi terkini memanfaatkan ponsel ataupun PC dan notebook computer (laptop) yang dilengkapi teknologi gelombang akses lokal (Wave Lokal Area Network/W-LAN) atau sering disebut pula ”Wireless Fidelity (WiFi). Dalam babak itulah bisnis penyebaran informasi mulai dihitung dengan satuan waktu akses berbanding lurus dengan kapasitas data yang diambil berdasarkan satuan kilobytes (kb).
    Dalam hal ini, media massa yang menerapkan –apalagi mengandalkan– konsep cyberjournalism harus menyadari bahwa dirinya tak dapat bermain sendirian. Keberadaanya berkaitan langsung dengan dukungan ISP dan juga berhadapan dengan budaya publik. Misalnya, media massa tidak dapat hanya mengandalkan kemampuan menyajikan informasi terkini hanya dari wartawannya sendiri, sehingga mereka tetap memerlukan kantor berita atau pun membuat jejaring pemberitaan sendiri yang tentunya memerlukan modal tidak sedikit. Media massa pun harus mampu membidik pasar yang sempit, namun konsumennya memiliki gaya hidup bekerja di mana pun –terutama tempat santai di luar kantor, namun menjalankan fungsi kantor berinternet nirkabel di kafe– yang rela mengucurkan dana besar untuk memperoleh informasi terkini, terakurat dan terlengkap.
    Melajunya gelombang ketiga jurnalisme ber-Internet ditandai pula dengan kecenderungan konvergensi (convergence) media massa menjadi multimedia massa. Tiba-tiba saja proses kerjasama, bahkan penggabungan bisnis (merger) di antara penyedia jasa informasi dengan ISP dan perusahaan piranti keras sekaligus piranti lunak komputer saling menyatu. Gejala tersebut ditandai dengan bergabungnya perusahaan komputer Hewlett-Packard dengan Compaq, dan perusahaan ponsel bermerek dagang Ericsson bergabung dengan divisi multimedia audio visual Sony, menjadikan merk dagang Sony Ericsson, serta bergabungnya IBM Amerika Serikat dengan Lenovo China, melahirkan merk Thinkpad &Thinkcenter Lenovo, di dunia produk teknologi informasi. Piranti lunak ponsel cerdas (smartphone) pun memanfaatkan piranti lunak dari Symbian maupun Microsoft dengan pola konvergensi.
    Konvergensi juga membawa produk teknologi informasi menjadi ”serba bisa” dan ”serba bergerak nirkabel”. Merebaknya Personal Digital Asisstant (PDA) yang berfungsi sekaligus sebagai telepon seluler (PDA phone) atau dilengkapi pula fungsi penjejak posisi bersatelit (Global Positioning System/GPS) membuat kalangan profesional, termasuk wartawan, semakin dimanjakan dalam berkomunikasi dalam menuntaskan pekerjaannya.
    Gelombang Keempat jurnalisme ber-Internet, sekalipun ada yang menganggap masih masa transisi sehingga sejumlah pakar menyebutnya sebagai Gelombang Ketiga Setengah, terasa lajunya pada 2006. Saat ini, lagi-lagi, dunia kewartawanan semakin diarahkan untuk memanfaatkan Internet lantaran hasil temuan teknologi informasi yang maju pesat, antara lain ditandai dengan berkembangnya cakupan sebaran wilayah WiFi menjadi WiMax yang lebih luas, dan sejumlah aplikasi kerja sampai dengan database dapat tersimpan secara online sekaligus offline.
    Manakala pemakai PC dan peselancar Internet lebih dari satu dasawarsa terbiasa mengerjakan sejumlah pekerjaan kantoran –menulis artikel, menyiapkan paparan (presentasi), menyusun album foto maupun audio-video– secara offline di PC-nya memanfaatkan aplikasi pengolah tertentu, maka mereka semua mulai dapat mengerjakan sekaligus menyimpan dokumennya di ”lemari maya” secara online.
    Hebatnya lagi, pengguna komputer dan peselancar Internet yang selama ini harus menginstal aplikasi pengolah kata, penyusun grafik dan perancang paparan di PC/laptop-nya kini dimungkinkan mendapatkan langsung aplikasi itu melalui Internet. Dengan kata lain, mereka tidak perlu mengintal aplikasi khusus lagi –yang harga lisensinya terbilang mahal–lantaran dapat langsung mengambilnya di situs tertentu, dan memanfaatkannya secara offline, kemudian menyimpan dokumen itu ke ”lemari maya” saat koneksi online diaktifkan (online) kembali. Walau masih dalam taraf pengembangan, aplikasi semacam itu –semisal AjaxWrite di http://www.ajaxwrite.com — hingga pertengahan 2006 dapat berfungsi relatif memadai. Dalam hal ini, wartawan semakin dimanjakan untuk menjalankan profesinya, dan membuka peluang semua orang –tentunya dengan etika tertentu– dimungkinkan menjadi wartawan online secara kelembagaan maupun pribadi/mandiri.
    Media massa yang ingin menerapkan konsep cyberjournalism –mengandalkan kinerja wartawan/editornya dapat mencari-menyunting-mendistribusikan berita teks/foto/audio-video dari mana pun, tanpa harus di kantor, tetapi memiliki laman pendukung kinerja jurnalistiknya– langsung berhadapan dengan dua pilihan besar. Pertama, apakah satu lembaga media massa ingin diakses banyak orang? Kedua, apakah media massa ingin lebih banyak diakses oleh para pemegang kebijakan secara mendunia?
    Saat inilah jurnalisme ber-Internet tampaknya semakin mempertegas khalayaknya menjadi: “Kami menyatu untuk selalu memenuhi apa yang kalian semua para pelanggan butuhkan.”
    Multimedia Massa di Indonesia
    Momentum dan media massa kini semakin erat kaitannya. Media massa yang kurang pandai memanfaatkan momentum –perhelatan Piala Dunia 2006, info tsunami, flu burung, peringatan 17 Agustus, dan peringatan hari raya agama; misalnya– kian terbukti sulit meraup keuntungan secara bisnis, serta secara idealis dapat dinilai kurang memperhatikan kepentingan publiknya. Media massa diharapkan bukan lagi sekadar menyiarkan fakta, tetapi publik menuntut disajikan lebih cepat –dan kalau mungkin menjadi seketika (realtime)– dan lebih akurat, serta lebih lengkap.
    Kemampuan media massa dalam memanfaatkan momentum tersebut semakin meningkat manakala memanfaatkan produk teknologi informasi. Satu lembaga media massa semakin dikenal publiknya manakala secara cekatan menyajikan berita terkini, terakurat dan terlengkap sekaligus memberikan peran kepada publiknya untuk terlibat dalam permasalahan yang berkembang. Publik memberikan apresiasi tersendiri kepada media yang menyajikan informasi secara interaktif. Publik pun semakin merasa pentingnya media massa manakala mereka diberi wahana untuk ikut menyumbangkan sesuatu –mulai berbentuk natura hingga sekadar ikut prihatin– kepada korban bencana alam.
    Kini unsur 5W+H (Who, What, When, Where, Why & How) sudah menjadi milik publik, dan media massa berada di posisi “dituntut harus” memberikan aktualitas yang akurat, serta selengkap mungkin. Publik semakin berkepentingan mendapatkan ”sesuatu” –yang kemudian dapat dimaknai sebagai berita– melalui media massa. Bahkan, publik semakin sering terlihat ingin mendominasi, menjadi penentu, dan mereka tak rela hanya diposisikan sebagai penerima berita.
    Dalam posisi mengejar kecepatan, keakuratan dan kelengkapan berita sesuai kepentingan publiknya, maka media massa kian memerlukan produk teknologi informasi dan konsep cyberjournalism menjadi alternatifnya. Apalagi, media massa semakin merasakan berita melalui Internet daya jelajahnya mendunia secara serentak. Sekalipun, media massa pun harus segera menerima kenyataan bahwa Internet pula yang membuka informasi haruslah menjadi public domain. Hal ini juga menjadi tuntutan publik di Indonesia, dan media massa harus berupaya keras untuk memenuhinya.
    Oleh karena itu, setiap media massa nasional senantiasa berupaya memiliki akses dan membuka situs di Internet. Sekalipun, masih cukup banyak di antara mereka tidak dengan mudah mendapatkan dengan sejumlah alasan, mulai dari hal teknis sampai dengan menyangkut kebijakan manajemen bisnis.
    Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII: http://www.apjii.or.id) mencatat data sebagai berikut:
    Tahun: Domain Baru: Total Domain:
    1998 1.479 1.479
    1999 2.126 3.605
    2000 4.109 7.714
    2001 3.433 11.147
    2002 3.146 14.293
    2003 3.628 17.921
    2004 3.841 21.762
    Pihak APJII mengemukakan bahwa pada tahun 2001 jumlah permintaan domain secara global, termasuk di Indonesia, menurun drastis dan diperkirakan alasannya lantaran runtuhnya bisnis dotcom. Seperti juga kecenderungan –atau bisa dikatakan ikut-ikutan—dengan kecenderungan di sejumlah negara maju, para pebisnis dotcom di Indonesia kala itu banyak melibatkan pekerja pers untuk mengelola portal pemberitaan dengan target meraup keuntungan dari layanan berita, iklan, dan desain web secara online. Bahkan, mereka mendapatkan modal asing.
    Keruntuhan dotcom yang menimpa sebagian besar –bisa pula dikatakan hanya satu dua lembaga saja yang bertahan hidup— bisnis mereka agaknya membuat pengelola media massa nasional ikut berpikir ulang untuk tidak mempertaruhkan modal mereka ke bisnis sejenis. Media massa nasional pun terlihat memilih garis batas yang aman, yakni mempertahankan atau membuka laman (situs Internet) sekadar untuk melengkapi bisnis informasinya sebagai alternatif berpromosi.
    Sementara itu, pebisnis dotcom yang bertahan hidup agaknya lebih banyak didukung oleh kinerja unit kerja mereka yang lain, misalnya bisnis pengembangan aplikasi komputer, desain web dan konsultasi membuat laman bagi perusahaan –termasuk media massa—yang memerlukannya. Selain itu, mereka juga mengembangkan sejumlah alternatif bekerjasama intensif dengan pihak pengelola jaringan ponsel untuk memberikan layanan informasi, wallpaper ponsel, nada dering sampai dengan permainan yang dapat diambil-pindah (download) langsung dari ponsel. Bisnis ini layaknya toko ponsel yang ternyata lebih banyak meraup keuntungan dari menjual pernak-pernik (asesoris).
    Namun demikian, cyberjournalism pun tetap bergulir di manajemen media massa nasional. Kian banyak wartawan dan redaktur yang sulit melepaskan pekerjaanya dengan Internet. Bahkan, semakin banyak pula media massa yang memutuskan sistem kerjanya memanfaatkan Internet, sehingga wartawan dan redaktur dapat mengirimkan dan mendistribusikan berita (teks/foto/audio-video streaming) di mana pun mereka berada.
    Contoh halaman kerja media massa berkonsep cyberjournalism.
    Pihak penyedia jasa jaringan ponsel pun ikut meramaikan cyberjournalism di media massa nasional, karena mereka menyediakan jasa membuat layanan bernilai tambah (Value Added Services/VAS) yang memungkinkan wartawan mengirimkan berita dari lokasi kejadian berformat pesan singkat (Short Message Service/SMS). Mereka pun memanjakan wartawan untuk mendapatkan akses pengiriman berita melalui sistem pengiriman online melalui ponsel berteknologi data paket (General Packet Radio Service/GPRS) yang disempurnakan lagi melalui Enhanced Data Rates for GSM Evolution (EDGE). Inilah salah satu bukti konvergensi merambah dalam manajemen media massa.
    Kehadiran teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) pada 2004 juga semakin membuka peluang bisnis berbasis Internet nirkabel semakin melaju. Wartawan pun ikut menikmatinya, bahkan proses manajemen pemberitaan media massa yang menerapkan cyberjournalism semakin memantapkan kinerjanya. Teknologi nirkabel Evolution-Data Optimized (EvDO) pun pada 2006 bergulir melanjutkan CDMA, sehingga memungkinkan proses pengiriman data multimedia –termasuk bagi wartawan pemanfaat Internet—menjadi semakin cepat. Sejumlah wartawan pun menikmati babak awal Generasi Ketiga (Third Generation/ 3G) alias triji dalam dunia telekomunikasi nasional.
    Kehadiran serangkaian produk teknologi informasi pun terlihat menjadi tantangan nyata bagi media massa yang memanfaatkan konsep cyberjournalism. Oleh karena, Internet ”seharusnya” membuat produk pemberitaan selain menjadi lebih cepat didistribukan secara global, harus pula semakin akurat dan lengkap. Unsur akurasi dan kelengkapan ”seharusnya” pula dapat memanfaatkan fasilitas mesin pencari (search engine) dan ensiklopedia online di Internet. Namun, tak sedikit media massa nasional yang justru masih berkutat dengan permasalahan akurasi dan kelengkapan dalam pemberitaannya. Dalam hal ini, kreativitas wartawan dan fungsi pengawasan mandiri di media massa nasional sangat diperlukan.
    Istilah information as public domain dalam penyebaran informasi di Internet, misalnya, di satu sisi menjadi salah satu tantangan bagi media massa untuk tetap menerapkan etika jurnalistiknya dalam pengutipan nara sumber pemberitaan. Di sisi lain, media massa nasional yang memiliki payung hukum Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 agaknya masih perlu menelaah aturan main penyebaran informasi di Internet. Salah satu contoh adalah dalam komunitas peselancar di Internet ada forum diskusi surat elektronik bersama (mailing list atau milist) yang seringkali menyebarkan informasi tertentu yang sifatnya mulai dari hal-hal humor hingga sangat serius. Jika saja ada wartawan yang menjadi anggota mailing list tertentu dan ia mengutip informasi dalam pemberitaannya, maka ia pun wajib melakukan proses check & recheck guna memastikan keakuratannya. Public domain dalam penyebaran informasi di Internet yang bukan dikelola lembaga resmi sejauh ini agaknya lebih banyak yang ibarat pamflet atau reklame di pepohonan di pinggir jalan raya, sehingga keakuratannya perlu diuji lagi dalam kaidah jurnalistik, apalagi jika ingin dibawa ke ranah hukum positif.
    Tantangan lainnya, belum semua dari sekira 600 media massa nasional yang secara utuh dapat menerapkan kinerja cyberjournalism lantaran alasan teknis dan faktor finansial hingga kebijakan manajemen. Masih banyak media massa di luar ibukota provinsi di negeri ini yang kesulitan mendapatkan akses Internet secara memadai. Kalau pun ada, tidak sedikit dari pemegang kebijakan di media massa yang berani memutuskan menerapkan konsep cyberjournalism lantaran khawatir dengan nilai investasi yang mahal. Padahal, bagi pengelola media massa tantangan semacam itu dapat dijawab, antara lain dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi yang menyimpan banyak sumber daya manusia penuh gagasan.
    Ibarat seseorang yang ingin mendapatkan buah jambu segar, maka ia akan lebih baik tidak membelinya di supermarket atau ke tukang buah di pinggir jalan. Ia akan lebih puas bila dapat langsung memilih dan memetik dari pohon jambu di lahan subur. Begitu pula dengan media massa yang ingin menerapkan konsep cyberjournalism relatif mudah menerapkannya dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi yang memiliki kajian ilmu komunikasi untuk pengembangan isi pesan (content), dan ilmu teknik komputer/informatika guna mengembangkan modul teknologi informasinya. Mekanisme semacam ini sudah sejak lama diterapkan oleh media massa di negara maju, karena mereka menemui kenyataan bahwa melibatkan kalangan kampus banyak memperoleh gagasan luar biasa yang bila diterapkan ongkos investasinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan mengajak bicara para vendor teknologi informasi.
    Tak berbeda dengan lembaga bisnis lainnya, media massa yang terlambat ”bermain” di Internet banyak yang bakal menghadapi tantangan dari kalangan cyberquater, yakni seseorang yang pekerjaannya mendaftarkan nama domain di Internet lalu menjualnya kepada pihak yang membutuhkan. Bukan tidak mungkin jika satu lembaga media massa yang saat mendaftarkan membuka laman nama medianya, ternyata domain name di Internet sudah dimiliki pihak lain, dan media bersangkutan kalau pun menginginkan nama domain itu harus membayar –atau melakukan tawar menawar bernilai tinggi– ke cyberquater.
    Semua Bisa Jadi Wartawan
    Belakangan ini melalui Internet semua orang bisa menjadi wartawan, atau (katakanlah) bekerja layaknya wartawan, yakni melalui blog atau menjadi blogger. Walau dimulai sejak 1994 oleh Brad Fitzpatrick, blog atau weblog sejak 2004 semakin diminati banyak peselancar Internet yang memfungsikannya berkonsep cyberjounalism.
    Wikipedia, ensiklopedia bebas layan di Internet, mencatat bahwa Weblog, Web log atau singkatnya Blog adalah aplikasi web yang memuat secara periodik tulisan-tulisan (posting) pada sebuah halaman situs Internet (webpag) umum. Posting-posting tersebut seringkali dimuat dalam urutan aktualitas posting secara terbalik, meskipun tidak selamanya demikian. Situs web semacam itu biasanya dapat diakses oleh semua pengguna Internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.
    Media Blog pertama kali di populerkan oleh Blogger.com (http://www.blogger.com) yang dimiliki oleh PyraLab yang akhirnya diakuisi oleh Google.Com (http://www.google.com) pada akhir tahun 2002. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat terpakai secara bebas (Open Source), sehingga pengembangannya mudah dilakukan oleh para blogger.
    Wikipedia juga mencatat, blog sejauh ini mempunyai fungsi yang sangat beragam, dari sebuah catatan harian sampai dengan media publikasi dalam sebuah kampanye politik, program-program media dan korporasi. Sebagian blog dikelola oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis. Banyak juga weblog yang memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, yang dapat memperkenankan mereka untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan. Namun demikian, ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif. Situs-situs web yang saling berkaitan berkat weblog, atau secara total merupakan kumpulan weblog sering disebut sebagai blogosphere. Bilamana sebuah kumpulan gelombang aktivitas, informasi dan opini yang sangat besar mengerupsi beberapa subyek atau sangat kontroversi dalam blogoshpere, maka hal itu sering disebut sebagai blogstorm atau badai blog.
    Sejak 2004 blog semakin fenomenal, karena fungsinya kian kental dengan konsep cyberjournalism. Semakin banyak pengelola blog menerapkan gaya penulisan wartawan, sarat fakta dan berkaidah 5W+H. Mereka pun menyajikan sumber-sumber berita yang akurat dengan menyebutkan asal-usul informasi yang mereka kutip kembali. Bahkan, semakin banyak politisi, sastrawan, dan kalangan profesional memanfaatkan blog untuk menuangkan gagasan. Tidak sedikit pula wartawan yang memiliki blog, sehingga mereka dapat menyuarakan opininya lantaran secara profesional di lembaga media massa mereka tidak dimungkinkan beropini langsung. Oleh karena itu pula, kian banyak blog yang dimiliki kalangan profesional yang tinggi kredibilitasnya lantaran menyajikan informasi secara aktual, akurat dan lengkap, sehingga menjadi referensi umum, termasuk bagi wartawan dalam membuat berita.
    Sejumlah media massa online pun memanfaatkan blog menjadi wahana berbagi informasi. BBC online (http://news.bbc.co.uk) pun memanfaatkan blog untuk publiknya dengan memanfaatkan momentum Piala Dunia 2006, yang ternyata menggugah banyak penggila sepakbola dunia berperanserta. Hal itu dilakukan pula oleh pebisnis dotcom dan penyedia jasa jaringan ponsel maupun ISP untuk menarik minat pelanggannya.
    Electronic Frontier Foundation (EFF: http://www.eff.org), lembaga pemerhati kebebasan informasi digital yang didirikan pada 1990 dan beralamat di 454 Shotwell Street – San Francisco CA 94110-1914 USA, termasuk aktif mempromosikan blog sebagai media massa publik. Lembaga tersebut juga membuka konsultasi kepada publik yang berminat membuat blog berkonsep cyberjournalism. Bahkan, EFF menegaskan bahwa blogger atau pengelola weblog, dalam kondisi tertentu, dapat dipersamakan dengan wartawan!
    EFF menekankan bahwa “pertanyaan apakah para pengelola blog termasuk wartawan?” sebaiknya jangan diperdebatkan terlalu jauh, karena hal yang jauh lebih penting hakikatnya adalah sejauh mana keterbukaan informasi –terutama informasi digital– dapat diakses publik secara luas. Dalam hal ini, EFF pun menekankan faktor tanggung jawab, aktualitas, keakuratan dan kelengkapan dalam menyebarkan informasi menjadi hal penting bagi pengelola blog berkonsep cyberjournalism.
    Konsep kewartawanan –termasuk di Indonesia– agaknya semakin menemukan bentuknya di Internet, antara lain ditandai pula dengan seiring gencarnya pemerintah pusat dan sejumlah provinsi menerapkan administrasi kepemerintahan secara digital memanfaatkan Internet (electronic government atau e-gov) yang menggunakan pula mekanisme cyberjournalism. Sejumlah laman resmi pemerintah provinsi dimanfaatkan untuk menjalin interaksi dengan publiknya. Bahkan, mereka membuka akses pengiriman informasi dari publiknya guna dipublikasikan –tentunya setelah melalui proses penyuntingan layaknya mekanisme di redaksi media massa—dalam situs Internet.
    Contoh halaman pengiriman informasi dari laman Provinsi Banten (http://www.banten.go.id)
    Dari serangkaian perkembangan pemanfaatan konsep cyberjournalism di kalangan peselancar Internet hingga laman resmi pemerintah itulah, maka media massa nasional agaknya tidak boleh ketinggalan mengembangkan manajemen pemberitaan menjadi lebih cepat, akurat, lengkap dan segera diakses masyarakat dunia. Jika tidak, maka fungsi media massa melalui Internet terancam bakal diambil alih publiknya!
    Jakarta, 31 Juli 2006.-
    ******
    Priyambodo RH
    priya3rh@yahoo.com
    . 2001 – : -.Redaktur Utama News Online, LKBN ANTARA, Jakarta
    -.Redaktur Redaksi Berkala – Feature Desk, LKBN ANTARA, Jakarta
    -.Pengajar Galeri Foto Jurnalistik ANTARA, Jakarta
    -.Pengajar Universidade Independente (UnI), Lisabon-Portugal
    . 2000 – 2001 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Eropa di Brussel, Belgia
    . 1999 – 2000 : -. Kepala LKBN ANTARA Biro Lisabon, Portugal
    . 1997 – 1998: -. Konsultan Pengembangan Web Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan
    Grafika (Ditjen PPG), Departemen Penerangan RI
    -. Konsultan Pengembangan Web Komisi Kebudayaan & Informasi
    (COCI), ASEAN Secretariat – http://www.aseansec.org
    . 1996 – : -.Pengajar Lembaga Pendidikan Jurnalistik Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta

  24. Well
    Roy Suryo adalah seorang pakar IT Gadungan ,Kenapa para wartawan tidak sadar juga, bahkan orang2 pemerintah????? saya rasa Roy Suryo harus dituntut secara hukum dengan tuduhan penyebarah berita palsu, atau penyesatan Sejarah Bangsa Indonesia.
    Regards

  25. Hmmmmmhhhh……
    Kalo gitu mah jangan jangan si Om Roy….. Ups ga boleh manggil Om ya? cuz kalo di Kalimantan mah Om itu untuk orang yang dianggap dekat atau dihormati……..
    Jangan jangan dia lah yang mengusulkan agar pelajaran Sejarah dicabut dari kurikulum pendidikan di Indonesia sekarang……..
    Sehingga kalo orang orang sudah tidak tahu sejarah negara ini… dengan serta merta sang Roy yang telah menemukan hal hal yang baru yang sebenarnya tidak baru mbikin pengumuman bahwa telah ditemukan benda bersejarah yang baru yang telah dilupakan….
    Saya selaku guru sangat prihatin dengan keadaan anak muda/remaja sekarang… mereka lebih hapal Romeo Juliet daripada Sangkuriang atau Lebai Malang atau si Pandir,,,,,
    Mereka lebih kenal Pahlawan Cinta daripada Pahlawan Nasional…… hihihihi…
    Tapi ternyata untungnya murid saya yang d bidang IT ketika ditanya siapa Roy Suryo……
    waduh Pa Siapa Roy Suryo itu ya? Ga kenal tuh….
    Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali sejarah bangsanya sendiri… kalo Roy suryo dibilang kenal sejarah “Koq Sejarah indonesia Raya aja ga tau???”
    Mungkin karena beliau ini keturunan Ningratxxxx, yaaa ga aneh lah kalo selalu ngelakuin Karakter Asinan….. Karena saya juga pernah bermasalah sama orang yang ngakunya keturunan ningrat yang merendahkan saya dengan mengatakan strata Loe lebih rendah dari strata Gw(Koplok tah jelema ngomong kitu ka guru)…….
    Mungkin RS menganggap orang lain yang tidak ada gelar Raden atau KRMT atau Sultan atau gelar bangsawan lainnya seperti andi dll, sebagai orang yang stratanya dibawah dia seperti Des Alwi… dan tukang kebun yang lainnya…….. jadi asal aja ngomongnya karena ngrasa lebih tinggi derajatnya… (ini cuman kemungkinan lho) da saya mah teu kenal kenal acan jeung roy suryo…..
    Nah kalo ngebandingin masalah keturunan saya mah teu kagok kagok saya turunan nabi sebab saya malu kalo ngaku keturunan nabi karena ga seperti mereka.
    Nah saya dan teman teman semuanya semua sama keturunan Nabi yaituNabi Adam Alaihissalaam. Kecuali Roy Suryo kalee…. dia mah keturunan KRMT……
    Astaghfirullaah na aing jadi pipilueun ngahujat kieu……….
    Ghibah eta teh nyaho!!!!!!!

  26. Nyendok gula pake sendok teh sendirian emang useless. Tapi nyendok pake sendok teh, bareng-bareng ribuan orang, bisa keangkat berapa ton?
    Paling ngga beberapa situs berita udah mulai lirik blog untuk counter berita. Paling setahun dua tahun lagi wartawan yang ngga mau dengerin pengguna internet bakalan cuma bikin berita basi. Sementara yang terbuka cuma beberapa jam bakal bisa bikin investigasi bagus.
    So, keep on fighting, om ryo! Kita doain semoga si you know who makin rajin bikin kontroversi!

  27. *namun permintaan bergabung dari saya ditolak dengan enteng oleh merry, dengan alasan “kami saat ini sudah tidak butuh lagi tambahan narasumber IT“.
    berhubung saya memang tidak gila popularitas, saya juga tidak berusaha memaksa masuk ke milis tersebut*
    tulisan paling ‘dalem’ buat aku….;d
    anyway, Oom…Jempol 4 deh buat oom Ryo.
    si Roy mang g kapok2 ya.
    ngaku bodoh aja koq susah..[eh, bodoh pa kuper siy?].
    diluar smua tetek-bengek ttg PP, masak g ngarti Lagu IR ada 3 stanza [malu kamu Roy, Malu!]

  28. saya merasa kecil untuk berkomentar diantara mas-mas di atas nich….
    salut buat mas Ryo, yg sudah sejak 3 postingan sebelumnya tentang Indonesia Raya ini saya kagumi cara penulisannya, analisanya, dan pengungkapan fakta-faktanya.
    Salah seorang menteri saat ini (my favorite one) Menhan, tahu kok kalo “Indonesia Rayanya Om Oy Uyoy” bukan hal baru. Sedihnya, waktu ada wawancara iseng dari salah satu TV tentang hal itu dan Menhan menjawab “Itu bukan hal baru, tidak perlu terlalu dipermasalahkan…” ga masuk tuh diberita mereka….
    Tapi memang sangat disayangkan kalo pola kerja wartawan sebagian besar yang saya tahu memang harus ambil narasumber yang latar belakang pendidikan dan kompetensi di bidangnya harus jelas dan diketahui oleh para EDITOR mereka. Jadi mungkin sasaran yang tepat agar informasi2 bagus yang ada di blog sampai ke media adalah menyadarkan para EDITOR yang seharian kerjanya memang browsing n ngawasin para wartawan yg jadi bawahannya di lapangan bahwa para blogger handal seperti Mas Ryo ini patut menjadi narasumber.
    apa yang dikatakan mB Merry dari milis itu ga penting Mas, jangan dipikirin….

  29. janGan Gto dunKZ ma WArtawan! kLO gada dY niy, maNa hebOH kaLANGn seleBRIti n polITiQ?!?!? btw, kan saLAHnya banG Roy suRYOO!! mong-omoNG, banG Roy itu bukan pakar IT, PAKar mode kaleee! scR kumiSnya ituh dah Jadi trendSETTer di daERah gw!
    HIDUP KUMIS!!! haigh! >o<

  30. Eksistensi dan keberadaan yang diakui dari suatu kebenaran pastinya akan membuka aib “SOK TAHU” dari satu dan beberapa pihak yang membuat dengan sebenar – benarnya atau mencari http://biarmasuktipi.com. Dan nanti, pastinya Orang pintar akan tau mana yang harus diakui. Karena orang pintar gak gampang masuk angin :D.

  31. Soal penolakan bergabung di milis technomedia, penyebabnya adalah hal ini. 🙂
    Siapapun kalau dibegitukan, pasti lama-lama capek juga deh.
    Setelah tahu latar belakangnya, saya jadi bisa simpati dengan mbak Merry.
    Sekedar tambahan informasi dari perspektif lainnya 🙂
    btw; saya dulu juga ditolak oleh mbak Merry dengan alasan yang sama. Dan sama juga dengan Ryo, saya juga tidak ambil pusing dan meneruskan apa yang saya kerjakan.
    Lalu saya direkomendasikan oleh salah seorang anggota milis. Saya juga tidak meminta kepada ybs, bahkan pada awalnya saya tidak tahu bahwa ybs adalah anggota milis tsb. Setelah itu barulah kemudian saya tergabung di milis tersebut.

  32. surat dari leiden
    berikut adalah isi mail dari universitas leiden, menjawab pertanyaan priyadi soal klaim roy suryo bahwa beliau mendapatkan rekaman video tersebut dari leiden:
    From: “Compaan, M.F.J.”
    Date: Today 14:21:14
    Dear Sir,
    Thank you for your message…

  33. Hihihi, kayaknya semua jadi terpancing ya tuk “ngomentarin” yg bersangkutan. Apakah hal tersebut produktif atau malah kontraproduktif buat beliau atau buat para fansnya? 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *