mengapa pidana UU ITE berat sekali


dikutip dari LKHT – FHUI, tulisan Edmon Makarim tentang Kesalahpahaman dan Tudingan Terhadap UU ITE:

Selanjutnya tentang pemidanaan yang dituding lebih kejam dari KUHP, adalah karena tidak memahami bahwa keberadaan konsep pidana dalam UU ITE yang dapat dikatakan merupakan delik yang dikwalifisir sehingga konsep umumnya akan mengacu kepada KUHP namun pemidanaannya tentunya akan lebih berat karena dengan kemampuan intelektual yang lebih tinggi melalui sistem elektronik, seseorang malah melakukan tindak pidana. Hal ini adalah konsekwensi logis dari sesuatu ketentuan hukum yang bersifat lebih khusus.

bagi saya, tulisan yang saya tebalkan di atas adalah sebuah bentuk diskriminasi. diskriminasi ini berdasarkan asumsi bahwa Informasi dan Transaksi Elektronik hanyalah untuk orang-orang yang kemampuan intelektualnya lebih tinggi. kalau pendapat ini diungkapkan di tahun 90-an, sewaktu internet hanya bisa diakses oleh sangat sedikit orang indonesia, hal ini masuk akal. namun kita sudah hidup di tahun 2009, di era teknologi informasi. jika anda punya telpon genggam, anda bisa mengakses internet! tukang sayur yang berjualan di kompleks perumahan tempat tinggal saya punya nomor telpon genggam yang bisa dihubungi untuk memesan langsung dagangannya. bahkan para supir di kantor saya sudah mulai memiliki blackberry!
belum lagi sistem transaksi elektronik yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan, seperti produk BCA kartu Flazz, yang bisa dipergunakan di SPBU pertamina maupun di toko swalayan kecil alfa, itu membuat teknologi informasi dan transaksi elektronik makin populer dan makin mengaburkan batasan “kemampuan intelektual yang lebih tinggi” ini. andai asumsi ini tetap dipertahankan, ini sama saja dengan mendukung adanya digital divide di indonesia. saya hanya ingin menambahkan, UUD 45 yang jauh lebih sakral ketimbang UU ITE bisa diamandemen, janganlah terlalu alergi terhadap permintaan perubahan pada UU ITE ini.

, ,

16 responses to “mengapa pidana UU ITE berat sekali”

  1. Asumsi kriminal di internet cuma cracker/spammer aja sih, gak kepikir di internet juga banyak orang2 lugu yg cuma salah arah. Atau malah gak salah arah, arahnya bener tapi dibkin tersesat, rambu2nya diganti semua. *ehem* Prita. 🙂

  2. wow.. digital divide? skripsi pertama saya dulu… sayang dosennya dipanggil UNDP jadi ga bisa diterusin…
    akur sama pendapat mas eko.. 🙂

    • Saya sependapat yang tdk bisa dirubah hanya hukum Tuhan.. Allah SWT
      Masalahnya, **manusia** SERING salah dalam menafsirkan hukum Tuhan.
      Tapi tetap ngotot bahwa dia yang paling benar.
      Akibatnya, banyak yang menjadi korban.
      Dalam menafsirkan dan menjalankan hukum Tuhan diperlukan :
      1. adil : tidak segan menghukum pejabat, dst. Jangan seperti di Saudi Arabia atau tempat lainnya, dimana yang dikejar2 adalah rakyat kecil, sedangkan para pejabat nyaris tidak pernah kena.
      Bahkan bisa ada preferensi untuk penduduk asli versus penduduk migran – padahal jelas Islam anti rasisme.
      2. kerendahan hati (tidak arogan)
      3. ikhlas & jujur
      4. compassion
      Kalau tidak ada ini semua, maka hukum Tuhan sekalipun tidak akan bisa menghasilkan kebaikan di muka bumi.
      It’s always about the man behind the gun.

      • Revisi :
        1. adil : ini ada banyak sekali aspeknya. Contoh yang saya cantumkan di atas hanya salah satu contohnya.
        Masalah terbesar dengan hukum Tuhan adalah pada **penafsirannya**
        Teks dari Tuhan itu bersifat ringkas sekali.
        Bayangkan saja, 6000+ ayat di Al-Quran itu musti mengcover SELURUH aspek dari kehidupan kita.
        Nah, karena itu perlu ditafsirkan dengan baik. Misalnya; dengan merujuk pada asbabun nuzulnya (sebab turunnya ayat tsb). Konteks seputar ayat ybs. Contoh pengaplikasiannya (preseden?). Komentar dari ulama ahli tafsir (**). Dst.
        Nah, karena kompleksitas proses ini, ditambah lagi dengan ketiadaan poin-poin yang saya bahas sebelumnya, Manusia sering gagal dalam menafsirkannya secara benar.
        Namun sialnya, seringkali walaupun gagal, tapi tetap dengan arogan mengakui bahwa dia yang paling benar.
        Akibatnya, kadang hukum Tuhan jadi disalahkan. Walaupun sebetulnya, kesalahannya ada pada ketidak mampuan / kezaliman manusianya dalam **menafsirkan** hukum Tuhan.
        (**) Ini poin yang lumayan penting, karena saya sering menemukan ulama bukan ahli tafsir, tapi melakukan tafsir. Akibatnya, tafsirnya jadi ngawur berat.
        Malah, lebih parah lagi, sering jadi mengikuti nafsunya. Contoh: saya pernah menemukan ulama yang menghalalkan rokok, lalu menjelaskan hal tersebut sambil mencaci maki semua ulama lainnya yang telah mengharamkannya (****) – belakangan baru ketahuan bahwa ybs ternyata adalah perokok berat.
        Ini fatal sekali – hukum Tuhan jadi berubah, hanya karena nafsu pribadi ybs.
        (****) setahu saya ulama di banyak (semua?) negara Asia sudah mengharamkan rokok. Hanya Indonesia yang belum mengharamkannya secara mutlak / masih kondisional.

  3. rada aneh kalau memang spt itu, krn disini legenda “maling ayam & koruptor” kenyataannya tdk spt statement tsb..

  4. dari “LKHT – FHUI, tulisan Edmon Makarim tentang Kesalahpahaman dan Tudingan Terhadap UU ITE:”
    dan “pemidanaannya tentunya akan lebih berat karena dengan kemampuan intelektual yang lebih tinggi melalui sistem elektronik, seseorang malah melakukan tindak pidana.”
    berarti bisa disimpulkan kalo Edmon Makarin gaptek dan kemampuan intelektualnya tidak tinggi.

  5. Pernyataan beliau sering sekali bernada xenophobic dan diskriminatif. Dulu waktu kasus YouTube juga begitu. Tapi harus diakui, kengototannya dan kemampuannya untuk mengabaikan masukan/pendapat orang lain patut diacungi jempol.
    Yes, this is personal experience. But nothing new, not surprising.

  6. pemidanaannya tentunya akan lebih berat karena dengan kemampuan intelektual yang lebih tinggi melalui sistem elektronik, seseorang malah melakukan tindak pidana

    siapa bilang yang menggunakan sistem elektronik sudah pasti punya intelektual yang lebih tinggi? kalo memang punya intelektual yang lebih tinggi, kok bisa ada komentar seperti di atas? *rekursif*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *